A. Biografi
dan Karya Muhammad Baqir al-Sadr
MuhammadBaqir al-Sadr dilahirkan di Kadhimiyeh, Baghdad. Pada 25 Dzul Qa’dah 1353/ 1
Maret 1935. Berasal dari keluarga shi’ite dan menjadi salah seorang pemikir
terkemuka yang melambangkan kebangkitan intelektual di Najaf antara 1950 dan
1980 yang berpengaruh dalam aspek politik di kawasan Najaf dan Timur Tengah
pada umumnya.
Peristiwa
pengeksekusian Sadr bersama saudara perempuannya yang bernama Bint al-Huda,
sekitar tanggal 8 April 1980, merupakan titik puncak tantangan terhadap Islam
di Irak. Dengan meninggalnya Sadr, Irak kehilangan aktivitas Islam yang paling
penting.
Buku
Falsafatuna dan iqtishaduna telah mencuatkan Muhammad Baqir al-Sadr sebagai
teoritis kebangkitan Islam terkemuka. Sistem filsafat dan ekonomi alternatif
ini disempurnakan melalui masyarakat dan lembaga.[1]
B. Pokok
Pemikiran
Berkaitan
dengan ekonomi, Baqir as-Sadr telah membuat konsep ekonomi melalui bukunya yang
fenomenal: Iqtishaduna (ekonomi kita) yang kemudian menjadi
mazhab tersendiri. Menurut mahzab ini, ilmu ekonomi tidak pernah bisa sejalan
dengan Islam. Ekonomi tetap ekonomi, dan Islam tetap Islam. Keduanya tidak akan
pernah disatukan. Sebab, kedudukannya berasal dari filosofi yang saling
kontradiktif. Yang satunya anti Islam, satu lainnya Islam.
Menurutnya,
perbedaan filosofi akan berdampak pada perbedaan cara pandang keduanya dalam
melihat masalah ekonomi. Menurut teori ekonomi, masalah ekonomi muncul karena
adanya keinginan manusia yang tidak terbatas. Sementara sumber daya yang
tersedia untuk memuaskan keinginan manusia tersebut jumlahnya terbatas. Mazhab
Baqir menolak pernyataan ini, sebab Islam tidak mengenal adanya sumber daya
yang terbatas. Dalil yang dipakai adalah Al-Qur’an: “Sesungguhnya telah Kami
ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya.” (Q.S. Al-Qomar
ayat 49)
Mazhab
Baqir berpendapat bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya distribusi yang
tidak merata dan adil sebagai akibat sistem ekonomi yang membolehkan
eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat memiliki akses
terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat kaya. Sementara, yang lemah tidak
memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Karena itu,
masalah ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang terbatas, tetapi karena
keserakahan manusia yang tidak terbatas.
Menurut
mereka iqtishadi bukan sekedar terjemahan dari ekonomi. Iqtishad berasal dari
kata bahasa arab qasd yang secara harfiah berarti “ekuilibrium” atau “keadaan
sama”, seimbang atau pertengahan. Mahzab ini berusaha untuk menusun teori-teori
baru dalam ekonomi yang langsung digali dan dieduksi dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
Menurut
Baqir as-Sadr, ekonomi Islam adalah mazhab, bukan ilmu. Beliau beranggapan
demikian karena melihat adanya perbedaan antara mazhab dan ilmu. Dimana ilmu
ekonomi dan mazhab ekonomi berbeda dalam tujuan. Tugas ilmu ekonomi adalah
untuk menemukan fenomena eksternal kehidupan ekonomi. Sedangkan tugas mazhab
ekonomi menyusun suatu sistem berdasarkan keadilan sosial yang sanggup mengatur
kehidupan ekonomi umat manusia. Ilmu mencakup realitas lahirlah dan mazhab
membawa keadilan sosial ke dalamnya.[2]
C. Beberapa
Pandangan Ekonomi Menurut Muhammad Baqir al-Sadr
1. Hubungan
Milik
Sadr
memandang sistem ekonomi Islam memiliki format kepemilikan bersama yang
berbeda. Menurutnya, format kepemilikan tersebut ada dua yakni kepemilikan
pribadi dan kepemilikan perusahaan secara bersama; (i) Kepemilikan publik, (ii)
milik Negara.
Kepemilikan
pribadi terbatas pada hak memetik hasil, prioritas dan hak berguna untuk
menghentingkan orang lain dari penggunaan milik seseorang. Dalam prakteknya
tidak ada kepemilikan pada individu. Hal ini, sama dengan pendapat Taleghani
yang membedakan antara kepemilikan (hanya Allah semata) dan pemilikan (yang
dapat diwarisi kepada individu).
Perbedaan
antara kepemilikan publik dan negara adalah sebagian besar dalam penggunaan
properti tersebut. Tanah negara harus digunakan untuk kepentingan orang banyak
(seperti rumah sakit atau sekolah). Sedangkan milik negara tidak hanya
kepentingan semua, akan tetapi untuk kepentingan masyarkat tertentu, jika
negara telah memutuskan. Walaupun sulit membuat pengertian operasional dari
perbedaan tersebut, perbedaan ini mencegah total monopoli yang diputuskan oleh
suatu negara. Selain itu, dalam pembagian mengenai sumber alam menjadi norma
milik negara, kepemilikan pribadi dapat dicapai oleh pekerjaan atau tenaga
kerja. Hal ini, sesuai jika pekerjaan berhenti maka kepemilikan akan hilang.
Sadr
hampir menyandarkan seluruh kepercayannya pada kepemilikan negara, karenanya ia
menempatkan otomatis lebih besar kepada kekuasaan negara.[3]
2. Pengambilan
Keputusan, Alokasi Sumber dan Kesejahteraan Publik: Peranan Negara
Fakta bahwa kepemilikan oleh negara
mendominasi sistem ekonomi Islamnya Sadr menunjukkan betapa pentingnya peranan
negara. Negara, yang diwakili oleh wali-e amr memiliki tanggung jawab
yang lebih besar untuk menegakkan keadilan. Hal itu dapat dicapai melalui
berbagai fungsi:
a. Distribusi
sumber daya alam kepada para individu didasarkan pada kemauan dan kapasitas
kerja mereka.
b. Implementasi
aturan agama dan hukum terhadap penggunaan sumber.
c. Menjamin
keseimbangan sosial.
Fungsi negara yang ketiga itu amat penting karena adanya konflik yang
muncul karena adanya perbedaan kapasitas yang berbeda kapasitas yang bersifat
alamiah antar individu (intelektual maupun fisik). Oleh karena adanya perbedaan
tersebut, maka pendapatan akan berbeda pula dan hal ini dapat mengarah pada
mengarah pada terbentuknya ‘kelas ekonomi’. Negara lebih diharapkan untuk dapat
memberikan jaminan terciptanya standard of living yang seimbang bagi semua
orang daripada distribusi pendapatan yang merata. Dalam hubungan ini, negara
diamanahi untuk mewujudkan jaminan sosial bagi semua orang. Menurut Sadr, hal
ini dapat dicapai dengan mempromosikan persaudaraan (melalui pendidikan)
diantara anggota masyarakat dan dengan
kebijakan pengeluaran publik, misalnya melalui investasi di sektor publik
tertentu yang diarahkan pada pemberian bantuan kepada kaum miskin, serta melalui
regulasi kegiatan ekonomi untuk menjamin tegaknya kejujuran pada
praktik-praktik yang bebas dari eksploitasi.
Last but certainly not lest, negara, atau lebih tepatnya wali-e
amr, mendapat amanah pula untuk menciptakan dinamisme dalam panafsiran teks
sesuai dengan situasi kontemporer. Oleh karena hal itu adalah tugas para mujtahidun,
berarti bahwa Sadr memandang mujatahidun sebagai negara, yakni negara
yang dijalankan oleh para ahli fiqih atau negara yang memiliki semacam dewan
penasihat yang terdiri dari para tokoh masyrakat.[4]
3. Larangan
Terhadap Riba dan Pelaksanaan Zakat
Sadr
tidak banyak mendiskusikan riba. Penafsirannya mengenai riba terbatas pada uang
modal. Sedangkan mengenai pelaksanaan zakat, Sadr memandang hal ini merupakan
tugas sebuah negara. Selain itu, dia juga mendiskusikan khums, pajak,
fay’dan amfal, yang dapat dikumpulkan dan dibelanjakan untuk mengurangi
kemiskinan dan menciptakan keseimbangan sosial.
Salah
satu poin menarik yang Sard ciptakan adalah fokus ekslusif kepada kaum miskin.
Target Sadr adalah terciptanya keseimbangan sosial dengan tidak mengarah pada
keseimbangan standar hidup antara si miskin dan si kaya. Para sarjana muslim
setuju bahwasanya harus ada standar kehidupan tertentu yang dapat
mempertimbangkan standar minimum. Pengaturan mengenai standar ini tidak berarti
berhenti untuk mengurangi jarak atau jurang standar kehidupan, sebab seorang
mempunyai kesamaan standar hidup.
Dalam
mengatur aktifitas ekonomi, banyak contoh diberi oleh Sadr.
1. Lahan
kosong dpat didistribusikan dan dimanfaatkan
2. Larangan
Islam yaitu: menempati lahan kosong dengan kekerasan.
3. Prinsip
tidak ada pekerjaan, tidak ada keuntungan
4. Larangan
riba
5. Larangan
tiak produktif, seperti perjudian
6. Larangan
yang aktivitasnya mengalihkan perhatian dari Tuhan
7. Penuturan
dan mengecek manipulasi dlam pasar
8. Larangan
pemborosan.
Dalam
pemikiran ekonominya, Sadr memisahkan produksi dan distribusi sebagai pusat di
dalam ekonomi. Menurut Sadr, produksi adalah suatu proses dinamis, mengubah
dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan distribusi sebagai
bagian dari sistema sosial, yaitu total hubungan antar sistem sosial yang
memancar dari kebutuhan orang dan bukan dari gaya produksi. Oleh karena itu, ia
percaya untuk mempertahankan suatu sistem sosial tunggal (mencakup distribusi)
bermacam-macam alat atau format produksi. Tetapi, ia menolak pandangan marxis
bahwa masyarakat terdiri dari potensi yang berlawanan dalam bentuk kelas.[5]
4. Distribusi
Hampir
sepertiga dari bukunya iqthishaduna dipakai untuk membahas distribusi dan hak
kepemilikan. Sadr membagi pembahasannya menjadi dua bagian, yakni distirbusi
sebelum produksi (pre-production distribution) dan sesudah produksi (post-
production distribution).[6]
a. Pre-production
·
Tanah (dan sumber daya lain)
diperuntukkan bagi semua orang melalui negara.
·
Hak pakai dan prioritas penggunaan
dapat diperoleh melalui kerja dan kebutuhan.
·
Tenaga kerja ekonomi adalah sumber
kepemilikan oleh swasta.
·
Tenaga kerja ekonomi adalah sumber
kepemilikan hasil kerja.
·
Penyewaan dan sharecopping
yang terbatas (bagi pemilik tanah disebabkan oleh dibatasinya luas tanah yang
boleh dimiliki).
b. Pro-production
·
Manusia (tenaga kerja) adalah faktor
produksi yang paling penting.
-Memiliki
hasil kerja
-Dalam
keadaan khusus dapat menggaji orang dan membayar upahnya
-Membayar
imbalan bagi pemilik faktor produksi lainnya
·
Faktor produksi
-Tenaga
kerja -- upah atau profit share
-Tanah –
Upah atau bagi hasil tanam
-Modal –
Bagian laba
-Entrepreneur
– Bagian laba
·
Risiko dan inflasi bukan alasan
untuk mendapatkan bunga dari modal yang dipinjamkan[7]
5. Produksi
Sadr
membedakan dua aspek produksi sebagaimana ia membedakan dua aspek ilmu ekonomi.
Pertama adalah aspek objektif atau aspek ilmiah yang berhubungan dengan
sisi teknis dan ‘ekonomis’ seperti alat-alat analisis yang digunakan (capital/
labor ratio), hukum-hukum produksi, fungsi biaya, dsb. Namun ia lebih suka
melihat pertanyaan dasar mengenai apa yang hendak diproduksi (what), bagaimana
memproduksinya (how) dan untuk siapakah sesuatu produk itu diproduksi (for
whom) dengan merujuk pada aspek kedua produksi, yakni aspek subjektif atau
doktrin. Apa yang hendak diproduksi (what), bagaimana memproduksinya (how)
dan untuk siapakah sesuatu produk itu diproduksi (for whom) dibimbing oleh
ajaran Islam mengenai barang-barang yang halal dan berbagai kategri barang
seperti barang perlu (necessities).[8]
·
Aspek Objektif/ Ilmiah
Perundangan,
alat analisis, dan bimbingan teknis
·
Aspek Subjektif/ Doktrin
-Pedoman
umum nilai-nilai Islam – Memengaruhi perilaku dan motivasi
-Perencanaan
dan regulasi negara – Produksi barang-barang kebutuhan dasar, dengan penyeliaan
yang lebih banyak, bukan keterlibatan langsung di dalam produksi[9].
6. Pandangan terhadap kapitalisme demokrat
Menurut Baqir, system kapitalisme democrat bertanggung jawab atas
semua bentuk kedzaliman dalam kehidupan ekonomi masyarakat sekarang. System ini
melahirkan pemerintahan yang dzalim dan sekaligus mencampakkan gereja. Dalam
system kapitalis democrat, individu adalah suatu fondasi nyata. System ini
membela sepenuhnya individu dan mempercayai bahwa kepentingan semua orang akan
menjamin apabila kepentingan pribadi para individu dalam berbagai bidang di
perhatikan.
Menurut system ini, satu-satunya tujuan pemerintah hanyalah
melindungi kepentingan-kepentingan dan keuntungan pribadi individu. System ini
secara garis besar menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan yang dapat dibagi
kepada empat system kebebasan, yaitu kebebasan politik, ekonomi, berfikir dan
pribadi.
Jelas, bahwa kapitalisme adalah suatu system ultra materialism yang
hanya mementingkan materi belaka dan mengasingkan manusia dari rohani agama.
Akibat buruk dari system yang absurd inimengakibatkan malapetaka yang besar
bagi manusia yang tak terhitung jumlahnya. Diantaranya adalah berkuasanya kaum
mayoritas atas kaum minoritas yang kepentingan-kepentingannya dikuasai oleh
kaum mayoritas.
7.
Kritik terhadap kapitalisme
sosialis
Ada beberapa macam “merek” sosialisme, dan yang paling terkenal
adalah marxisme yang didasarkan pada dialektika materialism. Menurut
materialisme, teori dialektika sama-sama berlaku bagi sejarah, masyarakat
maupun ekonomi. Oleh karena itu, penafsirannya tentang alam dan studi sejarah
mencerminkan pendekatan filosofis yang sama. Materialism memberikan suatu
bentuk khusus kepada pandangan manusia tentang dunia dan pendekatannya terhadap
kehidupan.
Sementara
itu, sosialisme mumcul sebagai perlawanan terhadap kapitalisme yang terlalu
mengedepankan individu. Tujuan akhir dari paham ini adalah terciptanya
komunalisme dalam kehidupan manusia. Artinya, diharapkan akan hadir suatu
masyarakat tanpa kelas, dan kepentingan-kepentingan individu terserap dalam
kepentingan kolektif. D sini kebijakan sosialisme yang mendasar berbeda dengan
kebijakan komunisme. System kebijakan ekonomi komunisme didasarkan pada tiga
prinsip yaitu: Pertama, komunisme hendak menghapus semua kepentingan
pribadi, termasuk perdagangan dan perindustrian. Kedua, semua hasil
produksi dibagikan sesuai dengan kebutuhan para individu, menurut kaidah dari
masing-masing sesuai kesanggupannya. Ketiga, untuk menghindari timbulnya
permasalahan dan kesulitan-kesulitan yang khas bagi kemerdekaan yang tak
terbatas dari system kapitalis, pemerintah harus mempersiapkan rencana ekonomi
untuk produksi dan distribusi.
Komunisme
hendak merebut kemerdekaan individu dan menggantikan kepemilikan pribadi dengan
kepemilikan kolektif. Akan tetapi, pada umumnya perubahan besar itu terbukti
bertentangan dengan tabiat manusia. Para pemimpin komunis pun mengakui
kegagalan mereka dalam hal ini[10].
BAB III
PENUTUP
Dari
pembahasan diatas telah kita pahami, menurut Baqir as-sadr ekonomi islam adalah
mazhab bukan ilmu. Beliau beranggapan demikian karena melihat adanya perbedaan
antara mazhab dan ilmu. Dimana ilmu ekonomi dan mazhab ekonomi berbeda dalam
tujuan. Tugas ilmu ekonomi adalah untuk menemukan fenomena eksternal kehidupan
ekonomi. Sedangkan tugas mazhab ekonomi menyusun suatu system berdasarkan
keadilan sosial yang sanggup mengatur kehidupan ekonomi umat manusia. Ilmu
mencakup realitas lahiriah dan mazhab membawa keadilan sosial ke dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia,
Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Depok: Gramata Publishing, 2010
Haneef , Mohamed Aslam. Pemikiran Ekonomi
Islam Kontemporer: Analisis Komparatif Terpilih, penerjemah, Suherman Rosyidi.
Jakarta: Rajawali Press, 2010
[1]
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga
Kontemporer, (Depok: Gramata Publishing, 2010), h.288
[2] Ibid.,
h. 288-289
[3] Ibid.,
h. 290-291
[4] Mohamed
Aslam Haneef, Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer: Analisis Komparatif
Terpilih, penerjemah, Suherman Rosyidi, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h.
139-140
[5] Euis
Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer,
(Depok: Gramata Publishing, 2010), h. 292-293
[6]
Mohamed Aslam Haneef, Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer: Analisis
Komparatif Terpilih, penerjemah, Suherman Rosyidi, (Jakarta: Rajawali
Press, 2010), h. 141
[7] Mohamed
Aslam Haneef, Op. Cit., h. 152
[8] Ibid.,
h.148
[9] Ibid.,
h.152
[10] [10] Euis Amalia, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Depok:
Gramata Publishing, 2010), h. 2293-295
Assalamu alaykum..
ReplyDeletemaaf mas, ijin copy yaaa..
Semoga keinginan baldatun thoiyyibatun warobbun qhofurr... dapat terlaksana. kja-abdulghoni.com
ReplyDelete