Sunday 1 November 2015

Pengertian Denda dalam Perspektif Islam dan Hukumannya

Denda dalam islam, gudang ilmu syariah

1. Pengertian
Istilah Arab yang digunakan untuk denda adalah gharamah. Secara
bahasa gharamah berarti denda. Sedangkan dalam bahasa Indonesia denda
mempunyai arti (1) hukuman yang berupa keharusan membayar dalam bentuk
uang: oleh hakim dijatuhkan hukuman kurungan sebulan atau...sepuluh juta
rupiah; (2) uang yang harus dibayarkan sebagai hukuman (karena melanggar
aturan, undang-undang, dan sebagainya): lebih baik membayar....dapat
dipenjarakan.


Denda merupakan salah satu jenis dari hukuman ta’zir. Ta’zir menurut
bahasa adalah ta’dib, artinya memberi pelajaran. Ta’zir juga diartikan dengan
Ar-Raddu Wal Man’u, yang artinya menolak dan mencegah.23 At-ta’zir adalah
larangan, pencegahan, menegur, menghukum, mencela dan memukul.
Hukuman yang tidak ditentukan (bentuk dan jumlahnya), yang wajib
dilaksanakan terhadap segala bentuk maksiat yang tidak termasuk hudud dan
kafarat, baik pelanggaran itu menyangkut hak Allah SWT maupun hak

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. Xii.
pribadi.24 Sadangkan pengertian ta’zir menurut istilah, sebagai mana
dikemukakan oleh Al-Mawardi yaitu:
“Ta’zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (maksiat) yang belum belum
ditentukan hukumannya oleh syara’”.
S e dangkan Unais dan kawan-kawan memberikan definisi ta’zir menurut
syara’ sebagai berikut:
“Ta’zir menurut syara’ adalah hukuman pendidikan yang tidak mencapai
hukuman had syar’i”.

Fathi ad-Duraini, guru besar fikih di Universitas Damaskus, Suriah,
mengemukakan definisi ta’zir:
“Hukuman yang diserahkan kepada penguasa untuk menentukan bentuk
dan kadarnya sesuai dengan kemaslahatan yang menghendaki dan tujuan
syarak dalam menetapkan hukum, yang ditetapkan pada seluruh bentuk
maksiat, berupa meninggalkan perbuatan yang wajib, atau mengerjakan
perbuatan yang dilarang, yang semuanya iti tidak termasuk dalam kategori
hudud dan kafarat, baik yang berhubungan dengan hak Allah SWT berupa
gangguan terhadap masyarakat umum, keamanan mereka, serta
perundang-undangan yang berlaku, maupun yang terkait dengan hak
pribadi”.

Dari definisi-definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa ta’zir
adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya
belum ditetapkan oleh syara’. Dari definisi tersebut, juga dapat dipahami
bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak
dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat. Dengan demikian inti dari
jarimah ta’zir adalah perbuatan maksiat. Adapun yang dimaksud maksiat
adalah meninggalkan perbuatan yang diwajibkan dan melakukan perbuatan
yang diharamkan (dilarang). Para fuqaha memberikan contoh meninggalkan
kewajiban seperti menolak membayar zakat, meninggalkan shalat fardhu,
enggan membayar hutang padahal ia mampu, mengkhianati amanat, seperti
menggelapkan titipan, memanipulasi harta anak yatim, hasil waqaf dan lain
sebagainya.

Dalam ta’zir, hukuman itu tidak ditetapkan dengan ketentuan (dari
Allah dan Rasulnya), dan Qadhi diperkenankan untuk mempertimbangkan
baik bentuk hukuman yang akan dikenakan maupun kadarnya. Pelanggaran
yang dapat dihukum dengan metode ini adalah yang mengganggu kehidupan
dan harta orang serta kedamaian dan ketentraman masyarakat. Hukuman itu
dapat berupa cambukan, kurungan penjara, denda, peringatan dan lain-lain.28
Ta’zir (hukuman yang tidak ada aturannya dalam Syara’) adalah
hukuman yang bersifat mendidik seperti memenjara dan memukul yang tidak
sampai melukai, tidak boleh melakukan ta’zir dengan mencukur jenggot
ataupun memungut uang (denda). Kaum muslimin yang harus melaksanakan
ta’zir dengan memungut uang, mengikuti pendapat Imam Malik yang
membolehkan. Sedangkan Imam Syafi’i dan ulama pengikut Imam Syafi’i
tidak ada satupun yang membolehkan memungut denda uang. Dalam sebagian
fatwa Ibnu ‘Alan bahwa pendapat yang membolehkan pemungutan uang
tersebut sesuai dengan pendapat Imam Malik. Sebagian dasarnya adalah
pengerusakan Khalifah Umar terhadap rumah Sa’ad, ketika ia lari

bersembunyi dari pengawasannya dan juga pembakaran olehnya terhadap
rumah-rumah penjual minuman keras.29
Dalam fiqih jinayah hukuman diyat adalah denda. Diyat yakni hukum
denda atas orang yang melakukan bunuh dengan tidak sengaja (khatha’) atau
atas pembunuhan yang serupa sengaja (syabah amad) atau berbuat sesuatu
pelanggaran yang memperkosa hak manusia seperti zina, melukai dan
sebagainya.30 Pelanggaran jinayah yang mewajibkan hukuman denda, adalah
dua macam yaitu melukai dan merusak salah satu anggota badan.31
Namun denda keterlambatan pembayaran adalah sebagai ta’zir bukan
diyat, karena denda keterlambatan pembayaran utang tidak berasal dari
pelanggaran yang melukai atau merusak anggota badan seseorang.

Secara garis besar hukuman ta’zir dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok .
1. Hukuman ta’zir yang mengenai badan, seperti hukuman mati dan jilid
(dera).
2. Hukuman yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, seperti
hukuman penjara dan pengasingan.
3. Hukuman ta’zir yang berkaitan dengan harta, seperti denda,
penyitaan/perampasan harta, dan penghancuran barang.
4. Hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amri demi
kemaslahatan umum.32
29 Djamaludin Miri, Ahkamul Fuqaha, Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2004, hlm. 36.
30 Moh Kasim Bakri, Hukum Pidana dalam Islam, Semarang: Ramadhani, 1958, hlm. 12.
31 Ibid., hlm. 43.
32Ahmad Wardi Muslich, op. cit., hlm. 258.
Denda keterlambatan ini termasuk kelompok yang ketiga yaitu
hukuman ta’zir yang berkaitan dengan harta. Para ulama berbeda pendapat
tentang dibolehkannya hukuman ta’zir dengan cara mengambil harta. Menurut
Abu Hanifah, hukuman ta’zir dengan cara mengambil harta tidak dibolehkan.
Pendapat ini diikuti oleh muridnya, yaitu Muhammad Ibn Hasan, tetapi
muridnya yang lain yaitu Imam Abu Yusuf membolehkannya apabila
dipandang membawa maslahat. Pendapat ini diikuti oleh Imam Malik, Imam
Syafi’i, dan Imam Ahmad Ibn Hanbal. 33 Denda keterlambatan merupakan
salah satu bentuk dari hukuman ta’zir yang berkaitan dengan harta. Namun
para ulama berbeda pendapat mengenai denda uang.

2. Hukum Denda dalam Islam
Mengenai pemberlakuan denda, terdapat perbedaan pendapat ulama
fiqih. Sebagian berpendapat bahwa hukuman denda tidak boleh digunakan,
dan sebagian lagi berpendapat boleh digunakan. Ulama Mazhab Hambali,
termasuk Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah, mayoritas ulama
Mazhab Maliki, ulama Mazhab Hanafi, dan sebagian ulama dari kalangan
mazhab Syafi’i berpendapat bahwa seorang hakim boleh menetapkan
hukuman denda terhadap suatu tindak pidana ta’zir. Alasan yang mereka
kemukakan adalah sebuah riwayat dari Bahz bin Hukaim yang berbicara
tentang zakat unta. Dalam hadits itu Rasulullah SAW bersabda:
”Siapa yang membayar zakat untanya dengan patuh, akan menerima
imbalan pahalanya, dan siapa yang enggan membayarnya, saya akan
mengambilnya, serta mengambil sebagian dari hartanya sebagai denda
dan sebagai hukuman dari tuhan kami....”. (HR. an-Nasa’i).

Menurut mereka hadits ini secara tegas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW
mengenakan denda pada orang yang enggan membayar zakat.35 Dalam
riwayat dari Amr bin Syu’aib diceritakan bahwa:
“Jika seseorang mengambil buah-buahan di kebun sekedar untuk dimakan
(karena lapar), maka dia tidak dikenakan hukuman. Tetapi jika ia
mengambil buah-buahan itu untuk dibawa keluar dari kebun, ia dikenakan
denda seharga buah yang diambil, dan dikenakan juga hukuman lain”.
(HR. an-Nasa’i).

Imam asy Syafi’i al-qoul ql-jadid, Imam Abu Hanifah dan
sahabatnya, Muhammad bin Hasan Asy Syaibani, serta sebagian ulama dari
Mazhab Maliki berpendapat bahwa hukuman denda tidak boleh dikenakan
dalam tindak pidana ta’zir. Alasan mereka adalah bahwa hukuman denda yang
berlaku diawal Islam telah dinasakhkan (dibatalkan) oleh hadis Rasullah
SAW, diantaranya hadits yang mengatakan:
“Dalam harta seseorang tidak ada harta orang lain selain zakat.”
(HR. Ibnu Majah).

Di samping itu mereka juga beralasan pada keumuman ayat-ayat Allah SWT
yang melarang bersikap sewenang-wenang terhadap harta orang lain, seperti
dalam surat al-Baqarah ayat 188 yang artinya:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain
di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim…”

Menurut mereka, campur tangan hakim dalam soal harta seseorang, seperti
mengenakan hukuman denda disebabkan melakukan tindak pidana ta’zir,
termasuk kedalam larangan Allah SWT dalam ayat di atas, karena dasar
hukum denda itu tidak ada.39 Ini adalah perbedaan pendapat para ulama
tentang hukuman denda. Ulama yang melarangnya berpendapat bahwa
hukuman denda yang pernah ada telah dihapus dengan hadis Rasulullah di
atas.

3. Syarat Penggunaan Hukuman Denda
Denda keterlambatan ini dimaksudkan sebagai sanksi atau hukuman,
supaya tidak mengulangi perbuatan maksiat kembali. Dalam Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah, sanksi dapat diberikan kepada orang yang inkar
janji, dan ketentuan seseorang disebut ingkar janji dijelaskan dalam Pasal 36,
yang menyebutkan bahwa:

“Pihak dapat dianggap melakukan ingkar janji, apabila karena
kesalahannya:
a. Tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk melakukannya.
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan.
c. Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat.
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukan”.

Sedangkan mengenai jenis sanksinya disebutkan dalam Pasal 38, yaitu:
“Pihak dalam akad yang melakukan ingkar janji dapat dijatuhi sanksi:
a. Membayar ganti rugi
b. Pembatalan akad
c. Peralihan resiko
d. Denda, dan/atau
e. Membayar biaya perkara”.

Sedangkan mengenai penggunaan hukuman denda, sebagian fuqaha
dari kelompok yang membolehkan penggunaannya, mereka mensyaratkan
hukuman denda harus bersifat ancaman, yaitu dengan cara menarik uang
terpidana dan menahan darinya sampai keadaan pelaku menjadi baik. Jika
sudah menjadi baik, hartanya dikembalikan kepadanya, namun jika tidak
menjadi baik, hartanya diinfakkan untuk jalan kebaikan.41 Seorang hakim
boleh menetapkan hukuman denda terhadap suatu tindak pidana ta’zir, apabila
menurut pertimbangannya hukuman denda itulah yang tepat diterapkan pada
pelaku pidana. Menurut mereka, dalam jarimah ta’zir seorang hakim harus
senantiasa berupaya agar hukuman yang ia terapkan benar-benar dapat
menghentikan (paling tidak mengurangi) seseorang melakukan tindak pidana
yang sama. Oleh sebab itu, dalam menentukan suatu hukuman, seorang hakim
harus benar-benar mengetahui pribadi terpidana, serta seluruh lingkungan

yang mengitarinya, sehingga dengan tepat ia dapat menetapkan hukumannya.
Jika seorang hakim menganggap bahwa hukuman denda itu lebih tepat dan
dapat mencapai tujuan hukuman yang dikehendaki syara’, maka boleh
dilaksanakan.42

3 comments:

  1. jika denda yg dikenakan bkan disebbkan keslahan yg dlakukan oleh pelaku tetapi dilakukan oleh org lain.namun denda trsbut bkaitan harta.adakah hasil denda itu halal buat pemungut denda.ataupun yg sebaliknya.

    ReplyDelete
  2. asslamualaikum, sumber tulisan diatas dari mana ya, mohon di cantumkan kutipan atau daftar pustakanya untuk sumber rujukan penulisan.

    ReplyDelete
  3. Taipan Indonesia | Taipan Asia | Bandar Taipan | BandarQ Online
    SITUS GAME KARTU ONLINE EKSKLUSIF UNTUK PARA BOS-BOS
    Kami tantang para bos semua yang suka bermain kartu
    dengan kemungkinan menang sangat besar.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    Cukup Dengan 1 user ID sudah bisa bermain 7 Games.
    • AduQ
    • BandarQ
    • Capsa
    • Domino99
    • Poker
    • Bandarpoker.
    • Sakong
    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • FaceBook : @Taipanqq.info
    • No Hp : +62 813 8217 0873
    • BB : D60E4A61
    Come & Join Us!!

    ReplyDelete